Tahun Baru dan Fenomena Kekerasan di Sekolah

oleh: Bowo Sugiharto

Akhir-akhir ini sering kita dengar berita melalui media masa tentang adanya kekerasan di beberapa sekolah. Kekerasan itu dilakukan oleh oknum guru kepada siswa. Beragam pandangan muncul secara otomatis di masyarakat. Suara mayoritas tampaknya menyetujui bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh oknum guru adalah merupakan salah satu bentuk tindakan yang melampaui batas kewenangannya sebagai seorang pendidik. Dan mungkin masih ada yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh oknum guru tersebut adalah merupakan salah satu bentuk pendidikan untuk memberikan dan menanamkan nilai-nilai disiplin kepada siswa. Mari kita urai satu persatu permasalahan ini sejak dari fungsi dan tujuan pendidikan hingga berbagai pandangan atau filosofi behavioristik dan konstruktivistik dalam dunia pendidikan.

 

Fungsi dan Tujuan Pendidikan

Undang-Undang no 20 tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan adalah  berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3). Oleh karena itu, usaha dalam bidang pendidikan bukan usaha yang berlangsung dan berlalu tanpa rencana. Dalam hal ini Undang-Undang tersebut juga memberikan batasan pengertian yang jelas. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (pasal 1 ayat 1).

Jika diungkapkan kembali sejak mulai dari definisi, tujuan, dan fungsi pendidikan yang diberlakukan di Indonesia semua mempunyai titik tekan pada pembentukan akhlak mulia, pembentukan kepribadian atau watak bagi peserta didik. Akhlak mulia dan kepribadian yang penuh tanggung jawab menjadi bagian yang penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ilmu pengetahuan yang dipelajari dan dikembangkan bukan ilmu pengetahuan yang bebas nilai, melainkan sarat dengan muatan-muatan untuk mewujudkan kepribadian yang berperadaban sekaligus mempunyai nilai kompetitif dari segala aspek. Berkembangnya perilaku menyimpang bangsa ini seperti, kolusi, korupsi, lemahnya disiplin, serta hilangnya rasa tanggung jawab barang kali merupakan manifestasi dari terkikisnya integritas kepribadian yang sesungguhnya diharapkan dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia. Banyaknya perilaku buruk ini mungkinkah merupakan salah satu bukti bahwa pendidikan telah gagal dalam menanamkan nilai-nilai integritas kepribadian atau memang merupakan penyakit yang justru sudah dipelihara sejak anak bangsa ini mengenyam dunia pendidikan?

 

Masalah-masalah dalam dunia pendidikan

Munculnya gejala-gejala perilaku buruk yang terjadi pada peserta didik sering kali kita sebut dengan istilah kenakalan. Oleh karena mereka masih pada usia remaja maka sebut saja dengan kenakalan remaja. Sejatinya, kenakalan remaja sudah menjadi bagian dari masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan itu sendiri. Pada satu sisi mereka sedang berupaya untuk menemukan jati dirinya, sementara di sisi lain pengaruh lingkungan dan pergaulan cenderung menjauhkan dari tertanamnya nilai-nilai integritas kepribadian. Upaya menanamkan nilai inilah yang kemudian menjadi tugas bapak dan ibu guru di sekolah. Bapak dan ibu guru tidak hanya sekedar memberikan contoh tetapi juga harus bisa menjadi contoh atau suri tauladan kepada peserta didik.

Sederet masalah yang dihadapi oleh bapak dan ibu guru dalam dunia pendidikan yang bersumber dari peserta didik dapat dilihat dari miniatur dunia pendidikan, yaitu masalah-masalah yang muncul di dalam kelas. Masalah-masalah ini menjadi tantangan dalam pengelolaan kelas. Masalah-masalah itu dapat bermula dari masalah yang bersifat individual. Masalah yang bersifat individual dapat dibedakan menjadi: 1) Attention getting behaviours (tingkah laku untuk menarik perhatian orang lain). Kadar masalah ini dapat dianggap masalah yang ringan. Bentuknya bermacam-macam yang intinya adalah ingin menunjukkan eksistensi diri dari siswa yang bersangkutan. Perhatian orang lain baik dari teman sebayanya dalam kelas maupun dari guru merupakan hal yang didambakan oleh peserta didik tersebut karena menjadi kebutuhan hidupnya. Hal ini dapat dimaklumi karena salah satu kebutuhan manusia menurut Maslow adalah kebutuhan untuk diakui eksistensinya. Contoh dari tingkah laku ini misalnya dengan berpendapat atau bersuara yang aneh-aneh pada saat pelajaran misalnya nyeletuk, membuat lelucon, dan sebagainya. Pada tataran ini sebagai indikasinya adalah guru merasa terganggu oleh perbuatan seorang siswa; 2) Power seeking behaviours (tingkah laku untuk menguasai orang lain). Tingkah laku ini mempunyai kadar yang lebih tinggi dari pada tingkah laku yang pertama. Adanya keinginan untuk menguasai orang lain maka peserta didik yang mempunyai masalah cenderung tidak menghargai pendapat orang lain, selalu mendebat, emosional, marah-marah, cenderung lupa terhadap aturan-aturan penting di kelas. Indikasi bahwa peserta didik mengalami masalah ini adalah guru merasa dikalahkan atau terancam; 3) Revenge seeking behaiviours (perilaku untuk membalas dendam), Perilaku yang ketiga ini mempunyai kadar yang paling tinggi dibandingkan jenis perilaku pertama dan kedua. Indikasinya adalah guru merasa tersinggung atau sakit hati dengan perbuatan seorang siswa di dalam kelas.

 

Berkembangnya Filosofi Behavioristik

Lantas bagaimana upaya pencegahan dan penyembuhan terhadap masalah-masalah yang timbul seperti di atas? Setidaknya kita mengenal ada dua upaya yaitu upaya yang bersifat preventif atau pencegahan serta upaya yang bersifat kuratif atau upaya untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Upaya yang bersifat preventif adalah upaya untuk mencegah timbulnya masalah-masalah di kemudian hari. Upaya preventif ini lebih baik dari pada upaya yang bersifat kuratif. Pembuatan aturan atau tata tertib termasuk salah satu upaya preventif. Adanya kejelasan aturan atau tata tertib yang bersifat mengikat bagi seluruh warga dalam dunia pendidikan akan meminimalisasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran.

Upaya yang lain yang juga bersifat preventif adalah dengan memberikan hadiah atau ganjaran (reward) bagi peserta didik yang melakukan tindakan-tindakan positif. Ganjaran wujudnya dapat bermacam-macam seperti misalnya penguatan sosial, simbolik, ataupun pemberian hak istimewa. Penguatan sosial sering kita jumpai dalam bentuk pujian, misalnya berupa acungan jempol atau kata-kata seperti: bagus, jempol, seratus, betul, dan sebagainya. Bentuk ganjaran yang kedua adalah simbolik yang dapat berwujud pemberian nilai, pemberian piagam, pemberian alat-alat tulis, pemberian buku, dan sebagainya. Bentuk ganjaran yang ketiga adalah berupa pemberian hak istimewa misalnya untuk mengikuti lomba, turnamen, dan sebagainya. Pemberian ganjaran-ganjaran ini akan memberikan bekas dalam diri peserta  didik bahwa apa yang telah dilakukannya adalah hal-hal yang benar dan bernilai positif, sehingga tidak terpikirkan dalam benaknya untuk melakukan perbuatan yang kontraproduktif dengan apa yang telah dilakukan.

Tindakan yang kedua adalah tindakan kuratif untuk menghentikan terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang tidak dikehendaki. Upaya ini dimaksudkan untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran yang sudah terlanjur dilakukan oleh peserta didik. Punishment atau hukuman merupakan tindakan yang menjadi pilihan dalam upaya ini. Pemberian hukuman merupakan bentuk tindakan yang diharapkan menimbulkan efek jera terutama bagi pelaku pelanggaran. Tentu saja pemberian hukuman ini kadarnya harus disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik. Jangan sampai hukuman yang diberikan melebihi kadar pelanggaran atau kesalahan yang telah dilakukan.

Mari kita tengok sejenak apa yang sudah kita lakukan terhadap tindakan-tindakan dalam upaya pencegahan dan penyembuhan di atas. Reward dan punishment merupakan salah satu azas yang digunakan oleh pandangan behavioristik dalam dunia pendidikan. Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah melakukan kegiatan belajar apabila dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Demikian pula sebaliknya, seseorang belum dapat dikatakan belajar jika belum menunjukkan adanya perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik ini sangat menekankan pada hasil belajar. Sementara proses belajar bukan menjadi masalah yang  penting menurut pandangan ini. Hubungan antara stimulus dan respons dipandang sebagai sebuah hubungan fungsional yang linier. Oleh karena itu terdapat faktor lain yang dipandang sangat penting yaitu faktor penguatan atau reinforcement. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons atau memperkuat terjadinya perubahan tingkah laku sebagai akibat pemberian stimulus oleh guru. Penguatan dapat berupa penguatan positif (positive reinforcement) dan penguatan negatif (negative reinforcement).

 

Saatnya untuk berhijrah dari pandangan bevavioristik ke konsttruktivistik

Masih relevankah pandangan behavioristik dengan dunia pendidikan zaman sekarang? Pandangan behavioristik masih memandang perlu adanya reward dan punishment sejak dikemukakan oleh Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie. Sedangkan sejak Skinner teori behavioristik sudah tidak lagi memandang hukuman sebagai sesuatu hal yang penting dalam dunia pendidikan. Namun, Skinner masih memandang perlunya negative reinforcement. Kembali kepada pertanyaan pada awal paragraf ini, relevansi perlu ditinjau kembali dalam menerapkan pandangan behavioristik dalam dunia pendidikan saat ini. Jika kembali kepada definisi pendidikan yang digunakan oleh oleh Undang-Undang  Sisdiknas seperti yang dikukakan di atas, maka diharakan usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh para pahlawan tanpa tanda jasa untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, tampaknya sudah tidak relevan lagi. Setidaknya kata-kata ”secara aktif mengembangkan potensi dirinya” lebih condong kepada pandangan konstruktivistik.

Pandangan konstruktivistik tidak hanya menekankan hasil belajar tetapi juga proses belajar. Lebih tegas lagi dikatakan bahwa pengetahuan menurut pandangan konstruktivistik bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Proses belajar bukan merupakan perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran struktur kognitifnya.

Berbeda dengan pandangan behavoristik bahwa apa yang disampaikan dan diajarkan oleh guru kepada siswa harus diinterpretasikan dan dimaknai sama persis oleh siswanya, pada pandangan konstruktivistik guru dituntut untuk mampu memahami jalan pikiran atau cara pandang siswanya. Guru juga harus mampu menghargai cara pandang dan jalan pikiran siswanya. Guru tidak boleh mengklaim bahwa  satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.

Pada kasus kekerasan guru kepada siswanya di atas, mungkin sebagai hasil interpretasi guru terhadap cara belajar menurut pandangan behavioristik, sehingga ketidaksesuaian tingkah laku siswa dengan yang diharapkan merupakan salah satu yang harus dibenahi atau dihentikan dengan cara memberikan punishment. Hal ini tentu saja menimbulkan dilema yaitu sejauh mana perbedaan interpretasi siswa dengan guru dapat dihargai? Mungkin bagi oknum guru yang melakukan tindak kekerasan punishment-lah satu-satunya cara yang logis untuk mengentikan tindak pelanggaran yang merupakan tingkah laku yang berbeda dengan hasil belajar yang diharapkan.

Penulis berpendapat barangkali memang pandangan konstruktivistik lebih tepat diterapkan di dunia pendidikan di Indonesia, akan tetapi ada kalanya pola-pola behavioristik sesekali juga masih diperlukan. Akan tetapi bukan hanya mengadopsi pemberian punishment-nya saja. Sudahkah kita para pendidik juga memberikan reward kepada anak didik kita. Di sisi lain punishmen yang diberikan juga jangan sampai melebih porsi yang sebenarnya sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang justru kontraproduktif. Mudah-mudahan momen bergantinya tahun baru hijriyah dan tahun baru masehi ini juga merupakan momen untuk kembali  merenungi apa yang sudah kita lakukan untuk selanjutnya mempersiapkan langkah-langkah ke depan menuju kondisi yang lebih baik. Para pendidik mampu menghargai perbedaan cara pandang dan jalan berpikir anak didiknya, demikian pula sebaliknya para anak didik menyadari benar apa yang seharusnya dilakukan selama proses pendidikan berlangsung. Semoga!!!